MENGENDALIKAN LIDAH
TARJO, S.Pd.I
Sahl bin Sa’d berkata: Rasulullah saw bersabda : “Siapa
yang menjamin untukku apa yang ada diantara dua janggutnya dan dua kakinya maka
aku menjamin untuknya sorga.” (HR. Bukhari)
Diantara
perkataan ada yang buruk dan ada yang lebih buruk, ada yang keji dan ada yang
lebih keji, ada yang baik dan ada yang lebih baik.
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: ‘Hendaklah mereka
mengucapkan yang lebih baik. Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan
diantara mereka.” (al-Isra’:53)
Diantara
kewajiban utama kita dalam urusan lidah ini ialah menggunakannya dalam da’wah
kepada kebaikan, amar ma’ruf, nahi munkar, mendamaikan persengketaan dan
menyerukan kebaikan dan taqwa.
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang
mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran:104)
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan
mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi
shadqah,
atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia.”
(an-Nisa’:114)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan
pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa,
permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan
dan taqwa.” (al-Mujadilah:9)
Tetapi
daftar kewajiban lidah dan larangannya sangat banyak.
1.a. Bahaya Lidah dan Keutamaan Diam
Bahaya lidah sangat besar.
Sahl bin Sa’d berkata: Rasulullah saw bersabda : “Siapa
yang menjamin untukku apa yang ada diantara dua janggutnya dan dua kakinya maka
aku menjamin untuknya sorga.” (HR. Bukhari)
Rasulullah saw. ditanya
tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam sorga, lalu beliau
bersabda: “Taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik.” Dan beliau ditanya tentang
sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, kemudian beluai
bersabda: “Dua hal yang kosong: Mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi)
Mu’adz bin Jabal berkata: “Aku
berkata, wahai Rasulullah, apakah kita akan disiksa karena apa yang kita
ucapkan?” Nabi saw. bersabda: “Bagaimana kamu ini wahai Ibnu Jabal, tidaklah
manusia dicampakkan ke dalam api neraka kecuali karena akibat lidah mereka.”
(HR. Tirmidzi)
Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya.” (HR. Thabrani,
Ibnu Abu Dunya, al-Baihaqi)
Dari Shafwan bin Sulaim, ia
berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kalian
tentang ibadah yang paling mudah dan paling ringan bagi badan? Diam dan akhlaq
yang baik.” (HR. Ibnu Abu Dunya)
Nabi saw. bersabda: “Simpanlah
lidahmu kecuali untuk kebaikan, karena sesungguhnya dengan demikian kamu dapat
mengalahkan syetan.” (HR. Thabrani, Ibnu Hibban)
Sesungguhnya
lidah orang Mu’min berada di belakang hatinya; apabila ingin berbicara tentang
sesuatu maka ia merenungkannya dengan hatinya kemudian lidahnya menunaikannya.
Sedangkan lidah orang munafiq berada di depan hatinya; apabila menginginkan
sesuatu maka ia menunaikannya dengan lidah dan hatinya.
Umar
ra. berkata, “Siapa yang banyak omongnya banyak kesalahannya, siapa yang banyak
kesalahannya banyak pula dosanya, dan siapa yang banyak dosanya maka api neraka
lebih cocok untuknya.”
Apa sebabnya diam memiliki keutamaan demikian besar? Maka ketahuilah
bahwa sebabnya adalah karena banyaknya penyakit lidah. Penyakit yang banyak ini
sangat mudah dan ringan meluncur dari lidah, terasa manis di dalam hati dan
memiliki berbagai dorongan dari tabi’at syetan. Disamping bahwa di dalam diam
itu terkandung kewibawaan, konsentrasi untuk berfikir, dzikir dan ibadah. Dalam
diam juga terkandung keselamatan dari berbagai tanggungjawab perkataan di dunia
dan hisabnya di akhirat.
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18)
Perkataan terbagi atas empat bagian:
Perkataan yang berbahaya sepenuhnya, perkataan yang bermanfaat sepenuhnya,
perkataan yang mengandung manfaat dan bahaya, perkataan yang tidak berbahaya
dan tidak bermanfaat.
Pada
perkataan yang berbahaya sepenuhnya maka kita harus diam tidak mengucapkannya.
Demikian pula perkataan yang mengandung bahaya dan manfaat. Adapun perkataan
yang tidak mengandung bahaya dan tidak pula bermanfaat maka ia adalah fudhul
(hal yang berlebih dari yang diperlukan); menyibukkan diri dengannya berarti
menyia-nyiakan waktu dan merupakan kerugian.
1.b. Penyakit-penyakit Lidah
Berikut ini penyakit-penyakit lidah dan dimulai dengan yang
paling ringan kemudian meningkat kepada yang lebih berat :
1.b.i. Penyakit Pertama: Pembicaraan yang tidak Berguna
Jika
Anda berbicara tentang sesuatu yang tidak Anda perlukan dan tidak bermanfaat
bagi Anda, maka berarti Anda menyia-nyiakan waktu. Anda akan dihisab atas
perbuatan lidah Anda dan berarti Anda telah mengganti yang lebih baik dengan
yang lebih rendah. Kalau Anda pergunakan waktu bicara tersebut untuk berfikir
bisa jadi Anda akan mendapatkan limpahan rahmat Allah pada saat tafakkur
sehingga sangat besar manfaatnya. Sekiranya Anda memuji Allah, menyebut-Nya dan
mengagungkan-Nya niscaya hal itu lebih baik. Berapa banyak satu kalimat yang
dengannya dibangun istana di sorga.
Sekalipun
pembicaraan yang tidak berguna tidak berdosa, tetapi dia telah merugi karena
terluput mendapatkan keuntungan besar dari dzikrullah. Diamnya orang Mu’min
hendaknya merupakan tafakkur, penglihatannya merupakan pengambilan
pelajaran, dan ucapannya merupakan dzikir. Bahkan modal hamba adalah
waktunya. Bila dipergunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat baginya dan
tidak dipakai untuk menimbun pahala di akhirat maka sesungguhnya dia telah
menyia-nyiakan modalnya.
“Termasuk
tanda baiknya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan sesuatu yang tidak
berguna baginya.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Batasan perkataan yang tidak bermanfaat
bagi Anda ialah Anda mengatakan sesuatu pembicaraan yang sekiranya Anda tidak
mengucapkannya maka Anda tidak berdosa dan tidak membahayakan keadaan ataupun
harta. Misalnya, menyebutkan kisah perjalanan Anda, menanya orang lain tentang
sesuatu yang tidak bermanfaat bagi Anda, karena dengan pertanyaan itu berarti
Anda menyia-nyiakan waktu Anda dan Anda telah memaksa teman Anda untuk
menjawabnya sehingga dia pun terbawa kepada hal yang sia-sia.
Obat
dari semua ini adalah mengetahui bahwa dirinya akan dimintai pertanggungjawaban
atas setiap kata yang diucapkan, lidahnya adalah jarring yang bisa dipakai
untuk mendapatkan bidadari sorga, menyia-nyiakan hal tersebut merupakan
kerugian yang nyata. Itulah obat dari segi ilmu. Dari segi amal adalah dengan ‘uzlah
atau meletakkan kerikil di dalam mulutnya atau mewajibkan dirinya untuk diam
tidak mengatakan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya sehingga lidahnya
terbiasa meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.
1.b.ii. Penyakit Kedua: Berlebihan dalam Berbicara
Meliputi pembicaraan yang tidak bermanfaat dan menambah
pembicaraan yang bermanfaat sehingga melebihi keperluan.
Ibrahim at-Taimi berkata, “Apabila seorang Mu’min ingin
berbicara maka ia melihat, jika menguntungkan dirinya ia berbicara tetapi jika
merugikan maka ia menahan diri. Orang yang durhaka adalah orang yang lidahnya
terumbar bebas.”
Sebagian kaum bijak bestari berkata, “Apabila seseorang berada
dalam sebuah majlis lalu berambisi untuk bicara maka hendaklah ia diam dan
apabila diam lalu selalu ingin diam, maka hendaklah ia berbicara.”
Yazid bin Abu Hubaib berkata, “Termasuk fitnah seorang alim
ialah jika dia lebih suka berbicara ketimbang mendengarkan. Jika sudah ada
orang yang berbicara cukup maka mendengarkan adalah keselamatan sedangkan ikut
berbicara adalah kelebihan omongan dan kekurangan.”
1.b.iii. Penyakit Ketiga: Melibatkan Diri dalam Pembicaraan yang Batil
Yakni
pembicaraan tentang berbagai kemaksiatan. Orang yang terlalu banyak berbicara
tentang hal yang tidak berguna tidak akan aman dari terlibat dalam kebatilan.
“Maka
janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang
lain.” (an-Nisa’:140)
“Sesungguhnya
seseorang berbicara dengan satu kalimat yang membuat teman-teman duduknya
tertawa, tetapi ucapan tersebut menjerumuskan-nya lebih jauh dari bintang
Trusaya.” (HR. Ibnu Abu Dunya)
Ibnu Sirin berkata, “Seorang Anshar
melewati suatu majlis mereka lalu dia berkata kepada mereka, ‘Berwudhu’lah
karena sebagian yang kalian ucapkan lebih buruk dari hadats’.”
1.b.iv. Penyakit Keempat: Perbantahan dan Perdebatan
“Janganlah kamu mendebat saudaramu, janganlah kamu
mempermainkan-nya, dan janganlah kamu membuat janji dengannya lalu tidak kamu
tepati.” (HR. Tirmidzi)
“Siapa yang meninggalkan perbantahan padahal dia benar
maka dibangun untuknya sebuah rumah di sorga yang paling atas. Siapa yang
meninggalkan perbantahan sedangkan dia salah maka dibangun untuknya sebuah
rumah di bagian pinggir sorga.” (HR. Tirmidzi)
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah Allah menunjuki mereka
kecuali karena mereka melakukan perdebatan” (HR. Tirmidzi)
Perbantahan
ialah setiap sanggahan terhadap pembicaraan orang lain dengan menampakkan
ketimpangan di dalamnya. Meninggalkan perbantahan adalah dengan meninggalkan
pengingkaran dan sanggahan. Setiap pembicaraan yang Anda dengar jika tidak
berkaitan dengan urusan agama [juga tidak menimbulkan kerusakan] maka hendaklah
Anda mendiamkannya.
Motivasi yang menggerakkan penyakit ini adalah rasa
superioritas dengan menampakkan ilmu dan keunggulan disertai serangan terhadap
orang lain dengan menampakkan kekurangannya. Kedua hal ini adalah syahwat batin
bagi jiwa.
1.b.v. Penyakit Kelima : Pertengkaran
Ia lebih berat dari perbantahan dan
perdebatan. Perbantahan adalah pengertian tentang perkara yang berkaitan dengan
memenangkan pendapat atau pemikiran tanpa terkait tujuan selain melecehkan
orang lain, dan menampakkan keunggulan dan kepintarannya. Sedangkan
pertengkaran adalah bersikeras dalam pembicaraan untuk mendapatkan harta atau
hak yang direncanakan.
“Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling
keras dalam pertengkaran.” (HR. Bukhari)
Jika
Anda berkata, bila manusia memiliki hak lalu untuk mendapatkannya atau
menjaganya dia harus bertengkar karena dizalimi, maka bagaimana hukumnya dan
bagaimana pertengkaran itu dicela, Maka ketahuilah bahwa celaan ini ditujukan
kepada orang yang bertengkar dengan cara yang batil dan tanpa ilmu.
Celaan ini juga ditujukan kepada orang yang menuntut haknya
tetapi tidak membatasi diri sesuai keperluannya.
Perkataan yang baik adalah lawan dari pertengkaran,
perbantahan, perdebatan yang notabene merupakan perkataan yang dibenci, dapat
melukai hati, dapat mengeruhkan kehidupan, dan membangkitkan kemarahan dan
membuat dada panas.
“Hal yang akan memasukkan kamu ke dalam sorga
(diantaranya) adalah perkataan yang baik dan memberi makan.” (HR. Thabrani)
“Dan
ucapkanlah perkataan yang baik kepada manusia.” (al-Baqarah: 83)
“Takutlah
kalian akan api neraka sekalipun dengan sebelah biji korma; jika kamu tidak
punya maka dengan perkataan yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)
1.b.vi. Penyakit Keenam: Berkata Keji, Jorok dan Cacian
“Jauhilah kekejian, karena Allah tidak menyukai kekejian
dan membuat-buat kekejian.” (HR. Nasa’i, al-Hakim dan Ibnu Majah)
“Orang Mu’min itu bukanlah orang yang suka melukai, bukan
orang yang suka melaknat, bukan orang yang suka berkata keji dan bukan pula
orang yang suka berkata kotor.” (HR. Tirmidzi)
“Berkata
kotor dan vulgar adalah dua cabang diantara cabang-cabang nifaq.” (HR.
Tirmidzi, al-Hakim)
Yang dimaksud dengan perkataan vulgar (al-bayan)
disini adalah mengungkapkan sesuatu yang tidak boleh diungkapkan. Atau berterus
terang menyampaikan apa yang manusia merasa malu mengungkapkannya secara
vulgar.
“Sesungguhnya
kekejian dan saling berkata keji bukan dari Islam sama sekali, dan sesungguhnya
orang yang paling baik keislamannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Abu Dunya)
Hakikat
berkata keji ialah mengungkapkan hal-hal yang buruk dengan ungkapan-ungkapan
yang vulgar. Kebanyakan hal tersebut berkaitan dengan masalah seksual dan
hal-hal yang berhubungan dengannya. Orang-orang yang rusak memiliki
ungkapan-ungkapan vulgar dan keji yang dipergunakan untuk mengungkapkan hal
tersebut, sedangkan orang-orang shalih menghindarinya dan menggunakan
bahasa-bahasa kiasan. Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya Allah sangat pemalu
lagi Mahamulia; mema’afkan dan menggunakan bahasa kiasan – memakai kata
‘menyentuh’ untuk mengungkapkan jima. Jadi, menyentuh, masuk dan bergaul adalah
kiasan untuk jima’, dan kata-kata itu tidak keji. Penggunaan bahasa kiasan
juga dipakai untuk membuang hajat untuk buang air.
Ada
ungkapan-ungkapan keji yang tidak layak disebutkan dan biasanya dipakai untuk
mencaci.
Hal
yang mendorong berkata keji diantaranya keinginan untuk menyakiti atau
kebiasaan akibat pergaulan dengan orang-orang fasik dan orang-orang hina yang
diantara kebiasaan mereka adalah mencaci-maki.
Seorang Arab badui berkata kepada Rasulullah saw,
“Wasiatilah aku.” Nabi saw. bersabda: “Kamu harus bertaqwa kepada Allah; jika
seseorang mencelamu dengan sesuatu yang diketahuinya ada pada dirimu maka
janganlah kamu membalas mencelanya dengan sesuatu yang ada pada dirinya,
niscaya dosanya kembali kepadanya dan pahalanya untuk kamu, dan janganlah kamu
mencela sesuatu.” Orang Arab Badui itu berkata, “Setelah itu aku tidak pernah
mencela sama sekali.” (HR. Ahmad dan Thabrani)
“Mencaci-maki orang Mu’min adalah kefasikan sedangkan
membunuhnya adalah kekafiran.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Dua orang yang saling mencaci-maki apa yang mereka
katakan, maka adalah atas (tanggungan) orang yang memulai dari keduanya sampai
orang yang teraniaya melampaui batas.” (HR. Muslim)
“Diantara dosa besar adalah seseorang mencaci kedua orang
tuanya..” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang
mencaci kedua orang tuanya?” Nabi saw. bersabda: “Dia mencaci bapak seseorang
lalu orang itu mencaci bapaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
1.b.vii. Penyakit Ketujuh: Nyanyian dan Syair
Adapun syair, maka perkataannya yang baik adalah baik dan
perkataannya yang buruk adalah buruk. Tetapi berkonsentrasi penuh untuk syair
adalah tercela.
Membaca syair tidak haram jika tidak mengandung kata-kata yang
dibenci.
1.b.viii. Penyakit Kedelapan: Senda Gurau
Asalnya
tercela dan dilarang kecuali dalam kadar yang sedikit.
Yang
dilarang adalah senda gurau yang berlebihan atau terus menerus, karena bersenda
gurau secara terus menerus berarti sibuk dengan permainan dan hal yang sia-sia.
Senda gurau yang berlebihan akan menyebabkan banyak tertawa padahal banyak
tertawa itu bisa mematikan hati dan menjatuhkan kewibawaan. Senda gurau yang terbebas
dari hal-hal tersebut tidak tercela.
Diriwayatkan
dari Nabi saw bahwa beliau bersabda “Sesungguhnya aku bersenda gurau tetapi aku
tidak mengatakan kecuali yang benar.”
Orang seperti Nabi saw. bisa bersenda
gurau tanpa berdusta, sedangkan orang selainnya apabila telah membuka pintu
senda gurau maka tujuannya adalah membuat orang tertawa sesukanya. Padahal Nabi
saw. bersabda:
“Sesungguhnya
seseorang berbicara dengan satu perkataan yang membuat teman-teman duduknya
tertawa, tetapi dengan perkataan itu dia terjerumus ke dalam api neraka lebih
jauh dari bintang tsuraiya.”
Selain itu banyak tertawa juga menjadi tanda
kelalaian dari akhirat. Nabi saw. bersabda :
“Sekiranya kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya
kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tertawa
yang tercela adalah tertawa terbahak-bahakn sedangkan tertawa yang terpuji
adalah tersenyum hingga terlihat giginya tetapi tanpa terdengar suara keras.
Demikianlah senyum Rasulullah saw. (Hadits semakna dengan ini terdapat di dalam
riwayat Muslim)
1.b.ix. Penyakit Kesembilan: Ejekan dan Cemoohan
Hal ini
diharamkan, karena dapat menyakiti.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih
baik dari mereka (yang mengolok-olok).” (al-Hujurat:11)
Arti
ejekan ialah penghinaan, pelecehan dan penyebutan berbagai aib atau kekurangan
untuk mentertawakannya.
Dari
Abdullah bin Zam’ah bahwa ia mendengar Rasulullah saw berkhutbah lalu
menasihati mereka tentang tertawa mereka kepada orang yang kentut. Nabi saw.
bersabda: “Mengapa salah seorang diantara kalian menertawakan apa yang
diperbuatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
1.b.x. Penyakit Kesepuluh: Janji Palsu
Lidah
sangat mudah memberikan janji, sedangkan jiwa terkadang tidak memungkinkan
untuk menepatinya sehingga janji itu teringkari.
“Wahai orang-orang yang beriman, tepatilah janji-janji
(kalian).” (al-Ma’idah:1)
Ibnu Mas’ud tidak pernah memberikan janji
kecuali dengan mengatakan ‘insya Allah’. Ini lebih utama. Kemudian jika hal itu
difahami sebagai kepastian janji maka harus ditepati kecuali berhalangan. Jika
pada saat memberikan janji sudah bertekad untuk tidak menepati maka hal itu
adalah nifaq.
“Empat hal siapa yang berada padanya maka dia adalah
munafiq dan siapa yang salah satu sifat tersebut ada padanya maka pada dirinya
ada salah satu sifat nifaq hingga ditinggalkannya: Apabila berbicara berdusta,
apabila berjanji mengingkari, apabila membuat kesepakatan berkhianat, dan
apabila bertengkar berlaku curang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
1.b.xi. Penyakit Kesebelas: Berdusta dalam Perkataan dan Sumpah
“Sesungguhnya dusta membawa kepada kedurhakaan, sedangkan
kedurhakaan menyeret ke neraka, dan sesungguhnya seseorang berdusta hingga
ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi saw.
bersabda :
“Aku (bermimpi) melihat seolah-olah ada orang yang datang
kepadaku seraya berkata “bangunlah”, lalu aku bangkit bersamanya, kemudian
tiba-tiba aku bertemu dua orang lelaki; yang satu berdiri sedangkan yang lain
duduk. Di tangan orang yang berdiri ada pengait dari besi lalu menjejalkannya
ke dagu orang yang dudul lalu menariknya hingga sampai ke pundaknya, kemudian
ia menariknya lalu menjejalkannya ke sisi yang lain lalu memanjangkannya;
apabila ia memanjangkannya maka sisi yang lain kembali seperti semula. Kemudian
aku bertanya kepada orang yang membangunkan aku, ‘apa ini?’ Ia berkata, ‘Ini
adalah seorang pendusta yang disiksa di kuburnya hingga hari kiamat’.” (HR.
Bukhari)
Rasulullah
saw. bersabda dalam keadaan bersandar: “Maukah aku beritahukan kepada kalian
tentang dosa-dosa besar yang paling besar, yaitu menyekutukan Allah dan durhaka
kepada kedua orang tua.” Kemudian
Rasulullah saw. duduk dan bersabda: “Ketahuilah dan berkata dusta.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
“Sesungguhnya
seorang hamba berdusta sekali sehingga malaikat menjauh darinya sejauh
perjalanan satu mil karena busuknya apa yang diperbuatnya itu.” (HR. Tirmidzi)
Dusta
yang Ditoleransi
Maimun
bin Mahran berkata, “Dusta dalam sebagian perkara lebih baik dari kejujuran.
Bagaimanakah pendapatmu jika ada seseorang yang mengejar orang lain dengan
membawa pedang untuk membunuhnya lalu orang yang dikejar itu masuk rumah,
kemudian orang yang mengejar itu bertanya kepadamu ‘Apakah kamu melihat si
Fulan?’. Apa yang akan Anda katakana? Tidakkah Anda menjawabnya, ‘Tidak tahu?’
Anda tentu tidak jujur kepadanya, tetapi kedustaan ini wajib Anda lakukan.
Pembicaraan
adalah sarana untuk mencapai tujuan. Setiap tujuan terpuji yang bisa dicapai
dengan kejujuran dan kedustaan maka melakukan kedustaan dalam hal ini adalah
haram. Jika bisa dicapai dengan kedustaan tetapi tidak bisa dicapai dengan
kejujuran maka kedustaan dalam hal ini adalah mubah, jika pencapaian hal itu
memang mubah, atau wajib jika pencapaian tujuan itu sendiri wajib dilakukan.
Dari
Ummu Kultsum, ia berkata: Aku tidak pernah mendengar Rasulullah saw. memberikan
keringanan dalam berdusta kecuali menyangkut tiga hal: Seseorang yang
mengucapkan perkataan untuk tujuan perdamaian, seseorang yang mengucapkan
perkataan dalam perang dan seseorang yang berbicara kepada istrinya atau istri
yang berbicara kepada suaminya.” (HR. Muslim)
Ketiga
hal tersebut di atas merupakan pengecualian (untuk berdusta) yang disebutkan
secara tegas, sedangkan hal-hal lain bisa disamakan dengannya jika terkait
dengan tujuan yang benar.
1.b.xii. Penyakit Keduabelar: Menggunjing (Ghibah)
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang
lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah
mati?” (al-Hujurat:12)
.”Setiap Muslim bagi Muslim yang lain haram darah, harta
dan kehormatannya.” (HR. Muslim)
“Janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian
saling membenci, janganlah kalian saling bersaing, dan janganlah kalian saling
membuat makar. Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, dan
jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para shahabat ra. saling bertemu dengan
gembira dan tidak menggunjing bila saling berpisah. Mereka menganggap hal
tersebut sebagai amal perbuatan yang paling utama sedangkan kebalikannya
merupakan tradisi orang-orang munafiq.
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.”
(al-Humazah:1)
Ibnu Abbas berkata, “Apabila kamu hendak
menyebut aib saudaramu maka ingatlah aib dirimu sendiri.”
Makna Ghibah dan Batasannya
Ghibah ialah menyebut saudaramu dengan hal
yang tidak disukainya seandainya ia mendengarnya, baik kamu menyebutkan dengan
kekurangan yang ada pada badan (menyebut pendek, hitam dan semua hal yang
menggambarkan sifat badannya yang tidak disukainya), nasab (mengatakan
hina), akhlaq (mengataka buruk akhlaqnya, sombong, pengecut, dan lain
sebagainya), perbuatan, perkataan, agama atau dunianya, bahkan pada
pakaian, rumah dan kendaraannya.
Nabi saw. bersabda: “Tahukan kalian apa itu ghibah?”
Sahabat menjawab, “Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi saw.
bersabda: “Kamu menyebut saudaramu dengan hal yang tidak disukainya.”
Ditanyakan, “Bagaimana jika apa yang aku katakana itu ada pada diri saudaraku
itu?” Nabi saw. menjawab: “Jika apa yang kamu katakana itu ada pada dirinya
maka sungguh kamu telah menggunjingnya dan jika tidak ada pada dirinya maka
sungguh kamu telah menyebutkan hal yang dusta tentang dirinya.” (HR. Muslim)
Ghibah tidak Hanya Terbatas pada Lidah
Isyarat, anggukan, picingan,
bisikan, tulisan, gerakan dan semua hal yang memberi pemahaman tentang apa yang
dimaksud, maka ia masuk ke dalam ghibah dan diharamkan.
Contoh
diantaranya adalah berjalan menirukan cara berjalannya. Ini adalah ghibah
bahkan lebih berat dari ghibah dengan lidah, karena ia lebih kuat dalam
penggambaran dan pemberian kesan.
Bentuk ghibah lainnya adalah
mendengarkan ghibah dengan mengaguminya, karena dengan memperlihatkan
kekagumannya sesungguhnya dia telah mendorong semangat orang yang melakukan ghibah.
Bahkan orang yang diam saja ketika mendengar ghibah sama dengan orang
yang melakukan ghibah.
Orang yang mendengar ghibah tidak
terbebas dari dosa kecuali dengan mengingkari secara lisan atau dengan hatinya
jika takut. Jika mampu melakukannya atau memotong omongannya dengan omongan
lain tetapi dia tidak melakukannya maka dia berdosa.
“Siapa
yang membela kehormatan saudaranya yang sedang dipergunjingkan, maka Allah akan
membebaskannya dari api neraka.” (HR. Ahmad dan Thabrani)
Hal-hal
yang Mendorong Ghibah
Secara umum, pendorong ghibah
terangkum dalam sebab-sebab berikut :
Pertama,
melampiaskan kemarahan.
Kedua,
menyesuaikan diri dengan kawan-kawan, berbasa-basi
kepada teman dan mendukung pembicaraan mereka.
Apabila mereka “berpesta” dengan menyebutkan aib orang, maka ia merasa kalau
perbuatan mereka itu ditentang pasti mereka berkeberatan dan menjauhi dirinya.
Karena itu ia kemudian mendukung mereka dan menganggap hal tersebut sebagai
pergaulan yang baik dan basa-basi dalam persahabatan.
Ketiga, ingin mendahului menjelek-jelekkan keadaan orang yang
dikhawatirkan memandang jelek ihwalnya di sisi orang yang disegani.
Keempat,
keinginan bercuci tangan dari perbuatan yang
dinisbatkan (disebutkan) kepada dirinya.
Kelima, ingin membanggakan diri. Yaitu mengangkat dirinya dengan
menjatuhkan orang lain. Misalnya berkata, “Si Fulan itu bodoh.” Maksud
terselubung dari ucapannya ini adalah untuk mengukuhkan keunggulan dirinya dan
memperlihatkan bahwa dirinya lebih tahu ketimbang orang tersebut.
Keenam,
kedengkian.
Ketujuh,
bermain-main, senda gurau, dan mengisi waktu kosong dengan lelucon.
Kedelapan,
melecehkan dan merendahkan orang lain demi untuk menghinakannya.
Penyebabnya adalah kesombongan dan menganggap kecil orang yang direndahkan itu.
Obat yang dapat Mencegah Lidah dari Ghibah
(a)
Mengetahui
bahwa ghibah dapat mendatangkan kemurkaan Allah
(b)
Mengetahui
bahwa ghibah dapat membatalkan kebaikan-kebaikannya di hari kiamat
(c)
Mengetahui
bahwa ghibah dapat memindahkan kebaikan-kebaikannya kepada orang yang
digunjingnya, sebagai ganti dari kehormatan yang telah dinodainya; jika tidak
memiliki kebaikan yang bisa dialihkan maka keburukan-keburukan orang yang
digunjingnya akan dialihkan kepadanya.
(d)
Jika
hamba meyakini berbagai nash tentang ghibah niscaya lidahnya tidak akan
melakukan ghibah karena takut kepada hal tersebut.
(e)
Akan
bermanfaat juga jika dia merenungkan tentang dirinya. Jika mendapatkan cacat
maka ia sibuk mengurusi cacat dirinya dan merasa malu untuk tidak mencela
dirinya lalu mencela orang lain.
(f)
Akan
bermanfaat baginya jika dia mengetahui bahwa orang lain merasa sakit karena ghibah
yang dilakukannya sebagaimana dia merasa sakit bila orang lain menggunjingnya.
Sedangkan pengobatan secara rinci,
adalah dengan memperhatikan sebab yang mendorong melakukan ghibah,
karena obat penyakit adalah dengan memutus sebab-sebabnya.
Haramnya Ghibah dengan Hati
Buruk sangka adalah haram sebagaimana
perkataan yang buruk juga haram.
Adapun
lintasan-lintasan pikiran maka hal itu dima’afkan, bahkan keraguan hati juga
dima’afkan, tetapi yang dilarang adalah prasangka.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (al-Hujurat:12)
Anda
tidak boleh meyakini keburukan orang lain kecuali bila Anda telah melihatnya
dengan nyata sehingga tidak dapat diartikan dengan hal lainnya.
Beberapa Alasan yang Memberikan Rukhshah dalam
Ghibah
1) Mengadukan kezhaliman.
2) Menjadi sarana untuk mengubah
kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar
3) Meminta fatwa
4) Memperingatkan orang Muslim
dari keburukan
5) Jika orang yang disebutkan
sudah dikenal dengan nama julukan yang mengungkapkan tentang cacatnya.
6) Jika orang yang disebutkan
melakukan kefasikan secara terang-terangan
1.b.xiii. Penyakit Ketigabelas : Melibatkan Diri Secara Bodoh pada Beberapa Pengetahuan dan Pertanyaan yang Menyulitkan
Orang awam merasa senang melibatkan diri pada pengetahuan, karena
syetan menumbuhkan khayalan bahwa dirinya termasuk kalangan ulama’ dan orang
yang memiliki keutamaan. Syetan terus menimbulkan khayalan itu hingga dia
berbicara tentang pengetahuan yang membawanya kepada kekafiran sedangkan dia
tidak menyadarinya. Setiap orang yang ditanya tentang pengetahuan yang rumit
sedangkan pemahamannya belum mencapai tingkatan tersebut maka ia adalah
tercela. Karena sesungguhnya dia dalam kaitannya dengan pengetahuan tersebut
sangat awam.
Maraji’
Sa’id
bin Muhammad Daib Hawwa, Mensucikan Jiwa : Konsep Tazkiyatun nafs Terpadu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar